Search site


Contact

Kabargarut
Riani indah, jl raya Cibatu Garut, Cibatu Garut 44185

Telp.
0262 482 00 52
085 221 852 852

E-mail: kabar_garut@yahoo.com

“Legenda Sangiang Tikoro, Sejarah Danau Bandung Purba”

23/10/2011 21:42

 

Bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Nama Sangiang Poek atau  lebih dikenal Sangiang  Tikoro, telah begitu akrab di telinga. Namun bagi masyarakat lainnya, terutama generasi muda kekinian, banyak kelimpungan tatkala ditanya sejarah keberadaan mulut gua sungai bawah tanah yang terkenal itu. Padahal, dari Bandung tidaklah begitu jauh. Hanya sekitar  35 km dari  daerah Rajamandala perbatasan Kab. Bandung Barat dengan Cianjur.

Bersumber buku karya tulis, Dr. Budi Brahmantyo dan Drs. T. Bachtiar, MM, aktivis dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, Truedee Pustaka Sejati, Bandung 2009, berikut  sumber-sumber penunjang lainnya. Pemimpin Perusahaan Kabar Garut Online : Siti Nur Fathonah, mencoba mengulas legenda tersebut.

 BILA memasukkan lidi ke mulut Gua Sangiang Tikoro, lalu lidi itu terbawa masuk ke dalam. Konon akan terdengar jerit kesakitan. Cerita ini mengumpamakan seperti tenggorokan (tikoro-bahasa Sunda), merasa sakit jika kemasukan duri. Gua itu diberi nama tikoro seakan-akan merupakan bagian dari anggota tubuh Sungai Citarum mengalir bercabang dua. Satu cabang mengalir ke kiri, layaknya sungai terbuka biasa. Satu lagi ke arah kanan, menghilang ditelan Gua Batu Kapur Pasir Sangiang Tikoro, menjadi terowongan/sungai bawah tanah. Maka, tempat penyayatan air di daerah Batu Kapur Selatan Rajamandala itu seperti tenggorokan Dewata. Daerah itu kemudian dinamai Sangiang Tikoro.

Sangiang Tikoro

 

Sungai bawah tanah yang sangat melegenda itu, membuat Maestro Geologi Van Bemmelen percaya, sebagai tempat bobolnya “ Danau Bandung Purba.“ Ketika itu Van Bemmelem, teramat kagum juga pada, “ Sasakala Sangkuriang.” Melihat ada kesamaan urutan kejadian antara sasakala dengan proses geologi Bandung, tak ayal lagi pendapat suhu ilmu kebumian ini dimakmumi oleh hampir semua ahli geologi termasuk J.A. Katili.  Sehingga, semua guru lulusan B -1 Ilmu Bumi yang memakai buku Geologi Indonesia mempercayai pula, bahwa Danau Bandung Purba bobol di Sangiang Tikoro. Betapa melekatnya legenda yang mendapat dukungan dari para ahli geologi dunia dan Indonesia itu. Hingga sekarang, sebagian masyarakat masih tetap meyakininya.  Tulisan Budi, dalam bukunya.

Kepercayaan bahwa Sangiang Tikoro (394 m) tempat bobolnya Danau Bandung lanjut Budi, bertahan hingga awal abad ke-21. Selain itu, berdasarkan catatan perjalanan Bujangga Manik, Sangiang Tikoro juga merupakan bagian dari Legenda Sangkuriang yang sudah dikenal sejak abad ke-15. Pada tahun 1959,  K. Kusumadinata seorang geolog mengisyaratkan Sangiang Tikoro bukan tempat bobolnya Danau Bandung Purba.

Baru pada tahun 2002, demi memperbaiki sejarah Bumi Bandung. Tulisan ilmiah dalam MGI Vol. 17, lebih tepatnya setelah dilakukan analisis Geomorfologi diperbukitan Padalarang, Rajamandala, Saguling- Sangiangtikoro yang melibatkan saya bersama dua rekan, Bandono dan Sampurno. Pengeringan Danau Bandung Purba, tidak melalui Gua Sangiang Tikoro, “ bebernya.

  Seharusnya tegas Budi, dari dulu sudah ada yang berpikir kritis. Kota Bandung yang menjadi danau berada di ketinggian 600-725 m dpl, sedangkan Sangiang Tikoro 394 m. Perbedaan ketinggian dan geomorfologi/ bentang alam sudah harus menjadi pertimbangan berdasarkan prinsip fisika sederhana. Bayangkan, keyakinan itu bertahan berabad-abad. Sementara, bebatuan di Sangiang Tikoro disebut batu gamping, batu kapur atau batu karang. Bebatuan kapur itu memiliki banyak rekahan yang memudahkan air menyelinap mengisi retak-retak, setipis selaput buah salak sekali pun. Perbukitan batu kapur itu merupakan hasil kegiatan organik, kehidupan laut, seperti hewan dan tumbuhan laut.

Sekira 23 juta tahun lalu, Pulau Jawa belum seluruhnya muncul di permukaan laut. Binatang, koral mengendap di laut dangkal yang jernih antara Tagogapu Rajamandala-Palabuanratu. Batu kapur terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Bebatuan itu dapat larut dalam air yang menghasilkan gas karbon dioksida (CO2), berasal dari atmosfer. Pada umumnya terdapat disemua perairan permukaan. Sungai bawah tanah Sangiang Tikoro, hasil proses pelarutan, dipercaya sebagai tempat bobolnya Danau Bandung Purba.

Tempat masuk Gua Sangiang Poek

 

Danau Bandung Purba

Sebenarnya, cekungan Bandung sudah tergenang jauh sebelum 135.000 tahun yang lalu. Namun pembentukan danau semakin tak sempurna. Karena Sungai Citarum Purba di utara Padalarang dibajak material letusan Gunung Tangkubanparahu 125.000 tahun lalu. Penggalan sungai ke arah hilir, kini menjadi Cimeta, sungai kecil dalam lembah besar Citarum Purba. Air sungai Citarum yang terbajak itu meluber, kemudian terperangkap di Cekungan Bandung. Air semakin tinggi, mencapai puncaknya sekira 35.000 tahun lalu, dengan paras air danau tertinggi pada kontur 712,5 m. Danau raksasa itu terentang membentang antara Cicalengka di Timur hingga Rajamandala Barat, antara Dago bawah Utara hingga Majalaya dan Banjaran di Selatan.

Bayangkan. Bila sedang melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Kopo. Bila itu terjadi 35.000 tahun lalu saat Danau Bandung Purba mencapai paras danau tertinggi pada kontur 712,5 m diatas permukaan laut (dpl). Kita sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 m. Titik perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 m. Di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 m.

Semakin dalam bila berada di ujung Timur jalan Soekarno-Hatta, di persimpangan Cibiru. Di sana, kedalamannya mencapai 39,5 m. Keadaannya akan semakin dalam bila berada dibagian tengah jalan tol Padalarang-Cileunyi. Bila sedang berada di pintu tol Pasirkoja, di sana kedalamannya hanya 26,5 m. Pintu tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 m. Apalagi bila berada di pintu tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 m. Sedangkan di pintu tol Buahbatu, kedalamannya sama seperti di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan jalan Buahbatu.

 

Batu ini dulu berada di atas Sangiang Tikoro. Dipercaya jika jatuh ke sungai akan menyumbat mulut gua, dan  dapat membendung kembali aliran Citarum. Sehingga Bandung menjadi danau kembali.  Kini batu itu ditempatkan di depan masjid dekat rumah Turbin.

 

 Pada tahun 1959 sesungguhnya, K. Kusumadinata dalam laporannya sudah mengisyaratkan bahwa bobolnya Danau Bandung Purba itu bukan di Sangiang Tikoro. K. Kusumadina menulis: Pintu air baru yang melalui pegunungan tua ini, terletak diantara gunung-gunung Puncaklarang (885 m) dan Bentang (700 m). Pada garis-batas-air, dahulu terdapat pinggir dari dindingnnya yang curam di sebelah kanan jurang Citarum (745 m). Sedang di Selatan letaknya lebih ke bawah jalan di dataran dekat puncak Gunung Kadut yang kecil. Di tepi kiri tinggi 710 meter dan sebelah kanan tinggi 740 m. Sela gunung, dimana untuk pertama kalinya mengalir air dari Citarum sekarang. Dengan demikian mungkin terletak diantara 700 -  740 m dan menentukan tinggi permukaan air paling atas…

Sayangnya, laporannya itu kurang mendapat tanggapan baik dari para ahli. Budi Brahmantyo (2002), dalam tulisannya di Majalah Geologi Indonesia, volume 17 nomor 3, IAGI, Jakarta, menjelaskan bahwa air Danau Bandung Purba itu pertama kalinya tidak bobol di Sangiangtikoro. Air Danau Bandung Purba sama-sekali tidak bersentuhan dengan Sangiang Tikoro. Dalam tulisan itu, disebutkan ada 3 faktor yang memperkuat pendapatnya, bahwa Sangiangtikoro bukan tempat bobolnya air Danau Bandung Purba, tapi melalui hogback/lalangasu/pasiripis Puncaklarang dan Pasir Kiara.

Pertama, morfologi Pasir Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung Purba, terpisah sejauh 4 km dan. beda ketinggian antara 300-400 meter. Kedua, keadaan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai dinding penghalang itu berupa breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras. Ketiga, terbentuknya Gua Sangiangtikoro tidak berhubungan secara langsung dengan Danau Bandung Purba. Proses pelarutan batu kapur di sana, hanya dipengaruhi oleh muka air tanah.

Secara evolutif, erosi mudik di sungai dan mata air itu akhirnya mampu mengikis breksi Formasi Saguling yang kompak dan keras. Danau Bandung Purba akhirnya bobol juga, kemudian menyayat membentuk celah diantara Puncaklarang dan Pasir Kiara. Dengan bobolnya Danau Bandung Purba Barat, maka terjadi erosi ke hulu sehingga menyayat perbukitan Pematang  Tengah, berupa batuan intrusif muncul kira-kira 4 juta tahun lalu. Bebatuannya terdiri dari batu andesit, dasit dan basal keras. Pematang itu, memisahkan antara Danau Bandung Purba Timur dengan Danau Bandung Purba Barat. Dengan tersayatnya Pematang Tengah di Curug Jompong, Danau Bandung Purba Timur, akhirnya menyusut pula.

Curug Jompong, merupakan tempat yang mudah dijangkau dibanding Puncaklarang dan Pasir Kiara. Curug berarti air terjun, sedangkan jompong berarti mojang atau remaja putri. Di sana, terlihat bebatuan yang kompak dan keras dikikis air. Membentuk permukaan batuan terlihat indah, kokoh dan mengagumkan, walaupun berada dalam lingkungan Citarum yang kotor.

Sejak air Danau Bandung Purba bersentuhan dengan batuan intrusif di Pematang Tengah, secara evolutif air sangat halus itu menyayat batuan amat keras. Sehingga, air Danau Bandung Purba dapat melewati Pematang Tengah. Itulah sebabnya, tempat tersayatnya batuan intrusif keras itu dinamai Curug Jompong. Kerasnya rangkaian berbatuan dianalogikan sebagai mojang, sebagai gadis remaja tersayat kehalusan air Danau Bandung Purba. Selaput dara bumi Bandung tersayat air Danau Bandung Purba menembus bebatuan.

Gunung Tangkubanparahu berada di utara Bandung, meletus 125.000 tahun lalu. Material letusannya, membajak Citarum Purba di utara Padalarang. Makin lama paras danau makin tinggi, akhirnya membentuk danau raksasa Bandung Purba. 70.000 tahun kemudian, Gunung Tangkuban-parahu meletus kembali dengan dahsyatnya. Sebagian besar material letusannya mengarah ke selatan menutupi sisi timur Pematang Tengah, sehingga Danau Barat dengan Danau Bandung Purba Timur menjadi terpisah.

Makin lama, paras air danau makin tinggi hingga mencapai ketinggian 700 m atau 712,5 m dpl. Terjadi 36.000 tahun lalu. Itulah paras danau tertinggi yang diketahui. Akhirnya, danau Bandung Purba Barat mendapat tempat penglepasan. Menurut Budi Brahmantyo (2002), bobol di punggungan breksi Pasir Kiara di selatan Rajamandala. Dengan bobolnya Danau Bandung Purba Barat di Pasir Kiara, maka air yang mengalir menyusut bagai pisau tajam menoreh ke arah hulu, menyayat bebatuan intrusif rangkaian gunung api tua Pematang Tengah.

Saat Danau Bandung Purba Barat surut, keadaan Danau Bandung Purba Timur masih tergenang sayatan batuan intrusif Curug Jompong belum terlalu dalam. Jadi, Danau Bandung Purba Barat tergenang relatif bersamaan dengan Danau Bandung Purba Timur, surut lebih awal. Lama kelamaan, sayatan rangkaian gunung api tua di Pematang Tengah itu mencapai titik terendahnya di Curug Jompong. Maka menyusutlah Danau Bandung Purba timur, maka menyusut pula danau raksasa tersebut! M.A.C. Dam (1996) menulis, Danau Bandung Purba menyusut 16.000 tahun lalu.

Curug Jompong yang sudah dikenal para peneliti. Tahun 1936 Van Bemmelen menulis dalam petanya, bahwa di pertemuan Cimahi dengan Citarum disekitar Curug Jompong, terdapat batuan metamorf akibat adanya kontak antara batuan intrusif dengan batu gamping. Saat ini, Curug Jompong tidak mendapat perhatian dan ditelantarkan Padahal, dapat dijadikan laboratorium dan monumen bumi dalam rangkaian sejarah bumi Bandung. Sayang memang, tapi lebih sayangnya lagi kondisi Sangiang Tikoro saat ini.

Dimana seiring perkembangan, menyusul dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Air ( PLTA) Saguling disekitar lokasi. Keasrian lokasi penuh legenda itu, nyaris terkikis. “ Lebih dari  itu, dampak dari eksploitasi sumber daya tersebut, pemukiman warga sekitar lokasi menjadi langganan banjir.

“Setiap musim hujan terutama warga Kampung Muara Raja mandala dan Kampung Bantar Caringin, merupakan daerah terparah kena banjir. Rasa khawatir jebolnya PLTA Saguling pun terus menghantui mereka, “ ungkap Yayat R Bardan, aktivis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lahan Tatar Sunda ( DPKLTS) Prov. Jawa Barat.

Ironisnya lagi kata Yayat, beberapa wilayah disekitar PLTA Saguling, hampir 50 KK warga Kampung Pabrik Desa Mandalawangi Kec. Cipatat, belum menikmati aliran listrik. Sementara keuntungan dari ekploitasi alam daerahnya dikeruk pengusaha asing. Masyarakat daerah itu hanya ketiban getahnya.  “ Sementara, ratusan bahkan milyaran keuntungan dari PLTA Saguling, hanya mutlak mempertebal kantong para pengusaha. Selain memudarnya keasrian Goa Sangiang Tikoro yang merupakan legenda bagi masyarakat sunda Jawa Barat,” tegasnya.

 Ditambahkan Yayat, akibat pembuangan air dari pipa turbin PLTA  Saguling yang berada tidak jauh dari mulut goa Sanghiang Tikoro, gerusan pembuangan air Saguling lama-kelamaan dapat merusak kelestarian Goa Sanghiang Tikoro. “ Saya berharap semua pihak  untuk turut memperhatikan dan melestarikan legenda masyarakat sunda tersebut. Kalau tidak, legenda Sangiang Tikoro, dipastikan hanya tinggal cerita,” urainya.

Manakala menyimak legenda cukup menarik ini, tampaknya semua pakar sejarah dimanapun berada, bekerja sama untuk meluruskan alur cerita  tentang terbentuknya kota Bandung.***