GARUT, KABARGARUT
Area Hutan GN Cikuray dibuka Menjadi area Pertanian
Pasca dikontrakannya lahan Titisara Blok Waspada, Desa Cintanagara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut-Jawa Barat, oleh sebanyak 22 Kepala Desa terhadap salah seorang pengusaha dari Pangalengan-Bandung, perambahan hutan lindung Gunung Cikuray marak terjadi.
Ironisnya, perambahan besar-besaran yang dilakukan masyarakat disana, seolah luput dari pantauan Pemerintah. Tak terelakan lagi, akhirnya hutan lindung beralih fungsi jadi hutan produksi.
Gun Gunarsa, aktivis lingkungan hidup Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Provinsi Jawa Barat dan Banten, beberapa waktu lalu, memaparkan, bagaimana kondisi hutan Gunung Cikuray saat ini, sekitar 60 Ha telah berubah fungsi jadi lahan pertanian.
Kini menyisakan pohon tegakan yang tidak berpotensi sebagai resapan air. “ Warga memang salah. Lebih salah lagi pihak Pemerintah setempat, lebih cenderung ke pengusaha ketimbang terhadap masyarakatnya, “ ujar Gun.
Lahan Titisara seluas 155.8 Ha, mereka sewakan dari tahun 1993-2017. Sehingga Gunung Cikuray menjadi sasaran perambahan, mengingat tidak lagi memiliki lahan garapan. “ Selain dirugikan secara ekonomi dan menjadi penyebab terjadinya perambahan, tidak adanya pohon tegakan diantara tanaman palawija kerap mendatangkan banjir lumpur yang menerjang pemukiman warga, “ ujarnya.
Bahkan, dikuasainya lahan bekas perkebunan Teh oleh pengusaha yang setiap musimnya mendatangkan keuntungan besar, telah menyeret kehidupan sosial ekonomi masyarakat terpuruk. Betapa tidak, banyak diantara mereka menjadi pekerja dengan upah sangat tidak manusiawi.
Pekerja perempuan, diberi upah kotor sebesar Rp 8.000 /hari. Sedang, pekerja laki-laki Rp. 8.500 perharinya. Mereka kerja dari pukul 06.00 hingga 13.00 WIB.
Dikatakan Gun, penghasilan sebesar itu, jelas tidak mencukupi. Jangankan untuk hidup layak, untuk biaya sehari-hari dan juga pendidikan anak-anaknya pun ketar-ketir. Maka tidak heran, jika angka Drof Out (DO) anak usia sekolah di daerah itu terbilang tinggi. Konon, mereka rata-rata lebih memilih membantu para orang tua mencari nafkah.
Lebih parahnya lagi, ratusan hektar lahan hutan Gunung Cikuray dibuka menjadi area pertanian. Selain itu, akibat tidak adanya kompensasi sebagaimana yang telah dijanjikan pihak pengusaha, banyak sarana infrastruktur rusak.
Dampak dari sumber-sumber mata air yang dikuasai pengusaha, warga empat kampong di Desa Cintanagara, kesulitan mendapatkan air bersih. Oleh pengusaha, air tersebut ditampung di titik-titik tertentu. “ Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mereka terpaksa mengambil dari sumber mata air dengan jarak tempuh sekitar 2 km. Itupun baru bisa dilakukan saat malam hari, sebab jika siang hari habis dipakai pengusaha menyiram tanaman palawija diatas lahan Titisara, “ tegas Gun Gunrasa.
Secara terpisah, Yayat R Bardan, Tim Advokasi DPKLTS Prov. Jawa Barat – Banten, didampingi, Deni Jasmara, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( WALHI) Jabar, menuturkan, eksploitasi lahan Titisara Blok Waspada, tentunya berimbas terhadap kondisi lahan Gunung Cikuray. Hal tersebut menyalahi aturan sebagaimana Pasal 35 No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan UU RI No 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli.
Terlebih sejak disewakan kepada pengusaha, pengelolaan lahan ( Titisara-red) yang nota bene sebagai penyangga hutan Gunung Cikuray itu tidak ditunjang penanaman jenis kayu keras yang bisa menjadi resapan air.
Selain tatanan hutan rusak, sosial ekonomi masyarakat-pun terpuruk. Bisa dilihat bagaimana ketar-ketirnya mereka, saat banjir lumpur menggenangi rumah tinggalnya. Diperparah lagi kondisi ekonomi yang morat-marit.
Gambaran ironis, pemukiman kumuh warga disekitar potensi lahan Blok Titisara
“ Ironisnya, tepat didepan mata mereka, milyaran rupiah dari ekploitasi lahan potensi dikantongi pengusaha. Tidak ada satu pihakpun, termasuk Perum Perhutani mau peduli. Belum lagi banjir lumpur tahunan seolah menjadi langganan dan bagian hidup mereka, “ ungkap Yayat tampak prihatin.
Menurut sejarah, lahan tersebut merupakan bekas perkebunan besar terlantar kelas V. Sebagaimana ketetapan, dikelola masyarakat sebagai penunjang pembangunan desa. Bukannya disewakan ke pihak pengusaha. Mereka tahu pasti dampak dari perambahan hutan, tapi warga tak punya pilihan, saat berbicara kebutuhan ekonomi.
Solusinya, dikembalikan kepada pihak pemerintahannya itu sendiri. Pada dasarnya, pihaknya siap berkerjasama memulihkan kembali kritisnya Gunung Cikuray. Namun nampaknya, para pemegang kebijakan sendiri cenderung bersikap apatis. Apalagi kepentingan pribadi dan kelompok mendominasi.
“ Benar-benar memprihatinkan. Masalah itu mendesak untuk segera disikapi. Berkas-berkas gugatan Class Aktion terhadap pengusaha dan pemerintah, tengah kita persiapkan. Karena selain terjadi perusakan hutan secara besar-besaran, pendzoliman masyarakat, monopoli dan eksploitasi lahan oleh kapitalis yang berpotensi mendatangkan bencana, “ tandas Yayat. (SITI NUR FATHONAH)