Search site


Contact

Kabargarut
Riani indah, jl raya Cibatu Garut, Cibatu Garut 44185

Telp.
0262 482 00 52
085 221 852 852

E-mail: kabar_garut@yahoo.com

Eksploitasi Lahan Titisara Berpotensi Datangkan Bencana

24/10/2011 08:35

GARUT, KABARGARUT

Area Hutan GN Cikuray dibuka Menjadi area Pertanian

 

Pasca dikontrakannya lahan Titisara Blok Waspada,  Desa Cintanagara, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut-Jawa Barat, oleh sebanyak 22 Kepala Desa terhadap salah seorang pengusaha dari Pangalengan-Bandung, perambahan hutan lindung Gunung Cikuray marak terjadi.

Ironisnya, perambahan  besar-besaran yang dilakukan  masyarakat  disana, seolah luput dari pantauan Pemerintah. Tak terelakan lagi, akhirnya hutan lindung  beralih fungsi jadi hutan  produksi.

Gun Gunarsa, aktivis lingkungan hidup Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Provinsi Jawa Barat dan Banten, beberapa waktu lalu, memaparkan, bagaimana kondisi hutan Gunung Cikuray saat ini, sekitar  60 Ha telah berubah fungsi jadi lahan pertanian.

Kini menyisakan pohon tegakan yang tidak berpotensi sebagai resapan air. “  Warga memang salah. Lebih salah lagi pihak Pemerintah setempat, lebih cenderung ke pengusaha ketimbang terhadap masyarakatnya, “ ujar Gun.

Lahan Titisara  seluas 155.8 Ha,  mereka sewakan dari tahun 1993-2017. Sehingga  Gunung Cikuray menjadi sasaran perambahan, mengingat tidak lagi memiliki lahan garapan.  “ Selain dirugikan secara ekonomi dan menjadi penyebab terjadinya perambahan, tidak adanya  pohon tegakan diantara tanaman palawija kerap mendatangkan banjir lumpur yang menerjang pemukiman warga,  “ ujarnya.

Bahkan, dikuasainya  lahan bekas perkebunan Teh oleh pengusaha yang setiap musimnya mendatangkan keuntungan besar, telah menyeret kehidupan sosial ekonomi masyarakat terpuruk. Betapa tidak, banyak diantara mereka menjadi pekerja dengan upah sangat tidak manusiawi.

Pekerja perempuan, diberi upah kotor sebesar Rp 8.000 /hari. Sedang,  pekerja  laki-laki Rp. 8.500 perharinya. Mereka kerja dari pukul 06.00 hingga 13.00 WIB.

Dikatakan Gun, penghasilan sebesar  itu, jelas tidak mencukupi. Jangankan  untuk  hidup layak,  untuk biaya sehari-hari dan juga  pendidikan anak-anaknya pun ketar-ketir. Maka tidak heran, jika angka  Drof Out (DO) anak usia sekolah di daerah itu terbilang tinggi. Konon, mereka rata-rata lebih  memilih membantu para orang tua mencari nafkah.

Lebih parahnya lagi, ratusan hektar lahan hutan Gunung Cikuray dibuka menjadi area pertanian. Selain itu, akibat  tidak adanya  kompensasi sebagaimana yang telah dijanjikan pihak  pengusaha, banyak  sarana  infrastruktur rusak.

Dampak dari sumber-sumber mata air yang dikuasai pengusaha, warga empat kampong di Desa Cintanagara, kesulitan mendapatkan air bersih. Oleh pengusaha, air tersebut ditampung di titik-titik tertentu. “ Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mereka terpaksa mengambil dari sumber mata air dengan jarak tempuh sekitar  2 km. Itupun baru bisa dilakukan saat  malam hari,  sebab jika  siang hari habis dipakai pengusaha menyiram tanaman palawija diatas lahan Titisara, “ tegas Gun Gunrasa.

Secara terpisah, Yayat R Bardan, Tim Advokasi DPKLTS Prov. Jawa Barat – Banten,  didampingi, Deni Jasmara, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( WALHI) Jabar, menuturkan, eksploitasi lahan Titisara Blok Waspada, tentunya berimbas terhadap kondisi lahan Gunung  Cikuray. Hal tersebut menyalahi aturan sebagaimana  Pasal 35 No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan UU RI No 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli.

Terlebih sejak disewakan kepada pengusaha,  pengelolaan lahan ( Titisara-red) yang nota bene sebagai penyangga hutan Gunung Cikuray itu tidak ditunjang penanaman jenis kayu keras yang  bisa menjadi resapan air.

Selain tatanan hutan  rusak, sosial ekonomi masyarakat-pun terpuruk. Bisa dilihat bagaimana ketar-ketirnya mereka, saat banjir lumpur menggenangi rumah tinggalnya. Diperparah lagi kondisi ekonomi yang morat-marit.

Gambaran ironis, pemukiman kumuh warga disekitar potensi lahan Blok Titisara

 

“ Ironisnya, tepat didepan mata mereka, milyaran rupiah dari ekploitasi lahan potensi dikantongi pengusaha. Tidak ada satu pihakpun, termasuk Perum Perhutani mau peduli. Belum lagi banjir lumpur tahunan seolah menjadi langganan dan bagian hidup mereka, “ ungkap Yayat tampak prihatin.

Menurut sejarah, lahan tersebut merupakan bekas perkebunan besar terlantar kelas V. Sebagaimana ketetapan, dikelola masyarakat sebagai penunjang pembangunan desa.  Bukannya disewakan ke pihak pengusaha. Mereka tahu pasti dampak dari  perambahan hutan, tapi warga tak punya pilihan, saat berbicara kebutuhan  ekonomi.

Solusinya, dikembalikan kepada pihak pemerintahannya itu sendiri. Pada dasarnya, pihaknya siap berkerjasama memulihkan kembali kritisnya Gunung Cikuray. Namun nampaknya, para  pemegang kebijakan sendiri cenderung bersikap apatis. Apalagi kepentingan pribadi dan kelompok mendominasi.

 “ Benar-benar memprihatinkan. Masalah itu mendesak untuk  segera disikapi. Berkas-berkas  gugatan Class Aktion terhadap pengusaha dan pemerintah, tengah kita persiapkan. Karena selain terjadi perusakan hutan secara besar-besaran, pendzoliman masyarakat, monopoli dan eksploitasi lahan  oleh kapitalis yang  berpotensi  mendatangkan bencana, “ tandas Yayat. (SITI NUR FATHONAH)